Tahun 2007 adalah awal saya pakai DSLR, setelah berkali-kali pakai kamera saku dan tidak pernah puas akan hasilnya. Sempat bimbang antara Nikon D40 atau Pentax (lupa tipenya) akhirnya pilihan saya jatuhkan ke Nikon D40, kamera fenomenal saat itu dengan sensor APS-C CCD 6 MP yang harganya sekira 5 jutaan. Banyak foto yang saya ambil dengan kamera itu dan rata-rata saya puas, apalagi dibanding kamera saku maka jauh sekali kualitas hasil fotonya.

Nikon D40 punya 3 titik AF, tidak ada live view dan jangan harap ada fitur video (apalagi minta 4K..) tapi saya puas saat itu. Berbekal dua lensa yaitu kit 18-55mm dan AF-S 55-200mm VR saya merasa sudah seperti ‘fotografer betulan’ yang bisa berganti lensa di depan orang 🙂 Saat dipadankan dengan lensa AF-S 24-70mm f/2.8 wow saya sangat terkesan dengan clarity, rendering detail, bokeh dan warnanya. Sayang lensa 24-70mm itu hanya pinjaman, dan itu adalah awal saya jadi reviewer gear. Review Nikon D40 jadi artikel paling laris dalam blog gaptek28 ini. Dari situ saya dipercaya mereview berbagai alat khususnya lensa dan flash (terima kasih untuk Tokocamzone dan sewakamera). Setelah dipakai memotret sampai 25 ribu kali, empat tahun berselang saya beralih ke Nikon baru yaitu D5100.


Alasan utama saya memilih Nikon D5100 tentu karena untuk mengejar fitur yang tidak ditemui di D40. Sebagai lensanya saya masih memakai AF-S 18-105mm yang sebenarnya sudah sangat memuaskan saat itu, cuma distorsi-nya saja yang agak parah. Pada D5100 saya temui live view, LCD lipat, rekam video HD dan megapiksel meningkat ke 16 MP dan 11 titik fokus. Angka-angka yang meningkat dalam berbagai keadaan mungkin membantu, tapi pada dasarnya tidak signifikan berdampak pada kualitas foto. Visually, D40 memberi hasil foto yang sama (atau bahkan lebih baik, karena pakai CCD) dibanding D5100 (dengan sensor CMOS). D40 hanya akan kalah saat fotonya ingin dicetak besar, saat kita pakai ISO tinggi (D40 di ISO 1600 saja sudah jelek) dan kalau mau live view (meski live view di DSLR Nikon masih kurang oke sampai saat ini).

Yang jadi target saya adalah berkarya dan membuat foto yang lebih baik lagi. Maka itu kamera akan lebih maksimal kalau diberikan lensa-lensa yang sesuai, dan dipakai di keadaan yang juga sesuai. Maka itu saya bertahap melengkapi lensanya dengan lensa seperti 50mm f/1.8, lalu Tokina 12-24mm f/4, Tamron 17-50mm f/2.8 dan terakhir AF-S 70-300mm VR. Sebagai flash-nya saya pakai Shanny SN600N yang di hari-hari pertamanya sudah jatuh dan pecah (meski masih bisa dipakai walau penuh dengan lem di sana-sini). Nikon D5100 yang menemani saya sejak 2011 sudah berkeliling ke Kamboja, Vietnam, Malaysia dan Singapura selain di dalam negeri seperti dari Banten sampai Bali. Banyak pelajaran yang saya dapat dari ini semua, manfaat dan peningkatan skill khususnya aspek teknis banyak saya dapat dengan berkeliling dan memotret, bukannya membeli kamera mahal.

Nikon D5100 menjadi mulai mengecewakan buat saya tatkala saya perlu layar sentuh, flash yang bisa wireless dan HSS, serta kendali yang lebih banyak (roda dan tombol). Maka sejak 2015 saya memutuskan banting haluan ke Canon dan didapatlah Canon 70D yang langsung saya padankan dengan lensa idaman dari dulu, Sigma 17-70mm f/2.8-4 OS HSM, dan sebuah lensa wide EF-S 10-18mm IS serta EF-S 24mm f/2.8 yang mungil. Sebagai flashnya saya memakai Godox V860 II yang baterai lithium, serta X1T-C sebagai triggernya. Proses menjual aneka lensa Nikon pun harus saya jalani karena tidak kompatibel dengan Canon juga.

Kenapa Canon 70D? Jawabannya sudah saya ulas panjang lebar di reviewnya. Tapi singkatnya 70D memberi keseimbangan antara harga, kinerja, fitur dan hasil foto. 70D jadi kamera Canon pertama yang Dual Pixel AF, juga memperbaiki banyak kelemahan di 60D. Lagi pula saya perlu naik kelas, cari kamera yang sudah weathersealed, jendela bidik prisma beneran dan ada LCD tambahan di atas. Nikon punya D7200 sih, tapi tetap saja saya lebih tergoda ke Canon, sekalian cari pengalaman baru.

Secara umum, hingga 2017 saya puas pakai Canon 70D, meski baru 2 tahun memakai tapi bisa menikmati kemudahan dan kehandalan kamera ini. Dengan 20 MP dan 19 titik AF serta memotret 7 fps rasanya spek yang ada sudah ‘aman’ untuk jangka menengah. Tapi ya lama-lama kamera ini mulai terasa tertinggal dalam hal hasil fotonya, minimal bila dibandingkan kamera baru seperti 80D atau Nikon D7500. Saya kurang suka RAW-nya yang kurang maksimal saat diedit di Lightroom, tapi kabarnya sensor Canon memang punya dynamic range dan ISO invariance yang kurang joss, tapi akan sangat baik kalau cahaya ideal seperti lampu studio.

Memang godaan untuk jual-beli gear datang lagi dengan adanya 80D, tapi banyak bersinggungan dalam hal fitur membuat saya menahan untuk upgrade ke 80D. Toh 70D ini saja masih cukup untuk sementara, apalagi belakangan saya lebih sering memotret pakai kamera pinjaman dari vendor seperti Lumix G9.

Kurang lebih dari tahun 2007 hingga 2017 saya telah menjalani proses belajar dan berkarya, dan saat ini pun tentu masih terus belajar. Ganti kamera hanya karena memang yang namanya alat itu kan perlu di perbaharui selain karena ada faktor umur, juga supaya bisa mengikuti tren, tapi jangan terjebak ikut-ikutan tren dengan beli kamera yang tidak sesuai kebutuhan. Upaya produsen untuk terus menarik pembeli dengan menambah spesifikasi yang kuantitatif jangan lalu membuat kita beranggapan kalau kita akan bisa mendapat foto yang lebih baik karenanya. Foto yang baik itu faktornya kualitatif, gear memang penting tapi bagaimana kita mengamati dan memilih apa yang akan difoto, kapan, dari angle mana dan pakai lensa apa itu yang lebih penting menurut saya. Kalau dana ada sebetulnya saya ingin pakai full frame, tapi tren saat ini sejak 2017 saya amati sensor yang bukan full frame mulai matang dan membaik, sehingga tidak perlu minder kalau tidak pakai full frame.
Lalu what’s next? Dalam tren kamera faktanya kamera DSLR akan segera menjadi teknologi yang ditinggalkan. Hal ini karena pemain mirrorless sudah siap merebut tahta DSLR, sebutlah misal Sony, Fuji, Panasonic dan Olympus siap menekan Canon dan Nikon. Nikon sendiri sepertinya masih merahasiakan strategi ke depannya (kalaupun ada), sedangkan Canon mulai mengakui kalau mereka akan membuat mirrorless yang lebih serius. Maka saya tentu merasa ke depan adalah saatnya mencari gear yang lebih ringkas, tetap berkinerja tinggi, hasil foto yang bagus namun tetap punya nilai ekonomis. Sayangnya di jaman now ini harga kamera semakin gila-gilaan, ditambah kurs yang terus bertengger di 13-14 ribuan membuat kamera pemula saja kini dijual 9 jutaan. Saya sih inginnya tetap mencari kamera di kisaran 10-15 jutaan saja, jangan terlalu mahal, dan itu tentunya adalah mirrorless. Lho, kok bukan DSLR? Ya kan sudah saya ulas di awal alinea ini, maka memang soal waktu saja buat saya untuk beralih ke mirrorless suatu saat nanti.
Update 2019 : Saya membeli kamera Lumix GX9 sebagai kamera mirrorless untuk sehari-hari/casual, street dan travel. Canon 70D masih tetap saya simpan, kecuali lensa EF-S 10-18mm sudah saya jual.
Sama, saya juga pernah pakai d5100 walau cuman mentok di AF-S 18-70 mm. Overall suka sih sama hasilnya, namun karena tuntutan kegiatan yang perlu siap sedia ambil gambar, maka sekarang jatuhlah ke mirorless sony, gak ngejar hasil sih, lebih mementingkan kepraktisan untuk sekarang ini 🙂
Bagaimanapun memegang DSLR dari 2012 hingga 2016 itu banyak belajar dan banyak kenangan, ahahaa
Mas Erwin mau tanya untuk kamera traveling pilihannya bagus mana ya antara Sony rx100 mark3 atau Canon g7x mark2 yang menjadi saya bingung itu di Sony lensa Zeiss nya clarity nya bagus sedangkan Canon kelihatannya build quality serta gripnya oke.
Kira2 pilihan mana ya yg baik, saya kebanyakan jepret RAW, oh iya denger2 kedua kamera tersebut bila dibandingkan entry dslr 1100/1200+kit kualitas nya tidak beda jauh ya.
Terimakasih
Dua-duanya bagus, yg G7 bisa bonus selfie/vlog.
mas erwin saya masih sangat pemula, punya samsung PL120 suka foto landscspe . .
mau beli DSLR nikon apa canon, terus lensa apa yang cocok buat landscape . . . ..
kasih saran ya mas . .. . .makasih