Kamera mirrorless semakin naik daun. Bila kita familiar dengan merk mirrorless seperti Sony, Fuji atau Olympus, maka jangan lupakan satu lagi yaitu Panasonic. Bila Sony mungkin lebih populer di kancah kamera full frame, dan Fuji (juga tak lupa ada Canon EOS M) lebih memilih menyasar segmen APS-C maka Olympus dan Panasonic tetap setia dengan sistem Micro 4/3. Ya, sensor yang dianggap kecil ini kadang membuat orang ragu saat memilih sistem Micro 4/3, padahal sensor 4/3 itu kecil-kecil cabe rawit lho.
Lumix G9 dengan battery grip dan lensa telefoto
Keuntungan sensor 4/3 ada beberapa macam. Pertama desain/bentuk kamera bisa dibuat lebih kecil. Kedua lensanya juga bisa lebih kecil, khususnya lensa tele. Ketiga, dengan 2x crop factor maka lensa tele bisa jadi 2x lebih tele tanpa perlu teleconverter. Kekurangan sensor 4/3 dibanding yang lebih besar, adalah hasil foto di ISO tinggi yang lebih noise. Kalau memang begitu adanya, ya menurut saya hindari saja pakai ISO tinggi. Boleh dengan pakai lensa yang bukaan besar, pakai shutter lambat (tripod atau IS) atau tambah lampu (flash atau lampu studio).
Di lini kamera Lumix, Panasonic punya beberapa produk seperti seri G yang menjadi seri utama mereka (sejak 2007 dulu ada G1, lalu seterusnya kini ada G7, G85 dan G9 yang kita bahas ini), ada juga seri GH yang lebih oke untuk video (GH4, GH5, GH5s), seri GX untuk street / ala rangefinder (GX7, GX8, GX85, GX9) dan seri GF untuk casual, famili atau pelajar (GF7, GF8, GF9). Bahkan Lumix G7 saat ini pun masih diminati karena fiturnya sudah oke dan harga terjangkau, plus bisa 4K video. Hadirnya G85 di tahun 2015 menambahkan fitur IS di sensor dan bodi weathersealed, lalu G9 kini menjadi kamera flagship untuk fotografi dengan bodi mantap, kinerja tinggi dan fitur paling advanced.
Kali ini saya sajikan sebuah review kamera mirrorless murah meriah dari Canon yaitu EOS M10. Walau kecil, kamera ini punya fungsi dasar yang lengkap diantaranya memakai sensor sama seperti DSLR (APS-C 18 MP), mode Manual, RAW, built-in flash, WiFi dan perekaman video. Mau dijadikan sebagai kamera selfie atau vlog juga boleh karena layarnya bisa dilipat ke depan.
Ukuran kamera ini memang kecil, sekilas mirip kamera saku seri PowerShot, kalau ditangan wanita sepertinya kamera ini lebih pas. Lensa kitnya juga kecil karena zoomnya dibuat pendek (15-45mm saja), dan kini dengan desain lensa yang bisa dipendekkan saat tidak dipakai (collapsible zoom). Tidak ada roda P-Tv-Av-M di bagian atas, tapi kita bisa menemuinya melalui Menu (ya memang akan memperlambat kita saat mau ganti mode dengan cepat). Melingkari tombol shutter ada satu-satunya roda yang penting untuk mengganti berbagai setting, karena di belakang tidak ditemui roda lain, hanya ada beberapa tombol saja. Memang filosofi EOS M10 sepertinya ingin memaksimalkan layar sentuhnya sehingga tombol fisik bisa dikurangi (tidak banyak ruang tersisa juga kalau melihat ukuran kamera ini yang kecil).
Setelah saya jelajahi fitur dan menu EOS M10, saya dapati beberapa fitur yang tidak terlalu penting memang tidak ada di kamera ini. Misalnya EOS M10 tidak menyediakan indikator level horizon (tapi tetap ada live histogram), tidak ada Kelvin WB, tidak ada AEB (Bracketing), dsb. Di bagian Menu juga terasa lebih sederhana tanpa ada My Menu, juga tidak ada pengaturan menu untuk Exposure Simulation. Di bagian yang pengaturan dasar seperti ISO juga tidak bisa diatur kelipatan 1/3 stop, juga auto fokus area tidak bisa diubah ukuran kotaknya.
Mode manual dengan pengaturan ISO, shutter dan aperture
Saya cermati sampai tahun 2016 ini masih banyak orang yang mencari DSLR lawas seperti Canon 600D atau Nikon D5200, besar kemungkinan karena budget mereka kurang mencukupi untuk memboyong DSLR baru, yang harganya kini mulai dari 8 jutaan seperti Canon 750D atau Nikon D5500. Memang ada juga opsi DSLR yang saya anggap best buy yaitu Nikon D3300 yang tidak mahal, sudah cukup lengkap dan generasinya termasuk baru. Tapi masalahnya saat ini sebagian orang mulai melirik ke kamera mirrorless, mungkin karena mengejar kepraktisan (ukurannya kecil) atau mencari kamera cadangan untuk mendampingi kamera DSLR yang lebih duluan dimiliki.
Saat anda mencari kamera mirrorless sebagai kamera utama anda, ada baiknya alokasikan dana yang lebih banyak (diatas 12 juta) untuk dapat gear yang lebih baik. Namun saat dana terbatas, atau anda sekedar mencari kamera ringkas untuk travelling, atau membeli mirrorless untuk pendamping DSLR, mungkin alokasi dana 8 juta ke bawah masih cukup buat anda.
Kamera mirrorless seperti apa yang bisa anda dapat dengan dana 4-8 juta rupiah?
Sony Alpha E-mount (dulu namanya Sony NEX)
Sony A5100 adalah versi ringkas dari Sony A6000 yang sama baiknya untuk urusan hasil foto maupun kinerja auto fokus. Bedanya A5100 tidak dilengkapi jendela bidik ataupun hotshoe untuk flash eksternal. Di beberapa toko kamera, Sony A5100 dijual sekitar 7 jutaan, namun dengan anggaran minimal anda mungkin akan melirik Sony A5000 yang jauh lebih murah (5 jutaan). Saran saya ambil yang A5100 kalau memungkinkan, karena A5000 auto fokusnya lumayan lambat karena belum ada phase detect AF.
Sony A5100 pakai sensor APS-C 24 MP yang sangat mencukupi untuk cetak besar sekalipun, sedangkan A5000 pakai sensor 20 MP yang juga APS-C. Sony A5100 juga memiliki fitur layar sentuh, cukup unik karena bahkan A6000 pun tidak ada layar sentuhnya.
Canon EOS-M
Dulu Canon dan Nikon enggan bikin mirrorless, namun kini perlahan Canon (dan Nikon) mulai membuat kamera mirrorless juga. Canon EOS-M (M = mirrorless) generasi awal masih mengecewakan dalam hal kinerja, namun seiring generasi ketiga muncul dengan nama Canon EOS M3, kinerjanya membaik. EOS M3 (dijual 7 jutaan) bersaing ketat dengan Sony A5100, karena banyak kesamaan spek dan fitur. Di lini termurah juga hadir Canon EOS M10 yang dijual 6 jutaan, untungnya kedua kamera ini (M3 dan M10) sudah dilengkapi Hybrid CMOS AF yang mumpuni, juga keduanya punya fitur layar sentuh. Continue reading Kamera Mirrorless murah meriah, mana yang terbaik?
Wah tak terasa sudah bulan Desember aja, artinya bentar lagi liburan.. Buat yang mau jalan-jalan tapi belum ada kamera, atau mau ganti kamera biar lebih seru liburannya, kali ini saya sajikan rekomendasi dan opini pribadi untuk memilih kamera digital.
Smartphone
Well, anda cuma ingin mengabadikan liburan anda dengan ponsel cerdas? Serius? Tapi bila memang begitu keadaannya ya tidak mengapa. Ponsel cerdas saat ini sudah punya hasil foto yang baik, bisa dipasang ke tongsis, dan mudah di bagi ke sosmed. Ingat juga sensor di ponsel itu kecil, lensanya umumnya fix dan pengaturannya terbatas.
Walau ponsel tapi lensanya dari Zeiss, kebayang kan tajamnya..
Saran : ponsel premium akan selalu memberi hasil foto yang lebih tajam, berkat sensor berkualitas dan lensa yang bening. Pilihan seperti iPhone6, Samsung Galaxy kelas atas (S6, Note4 dsb), Sony Z5 dan LG G4 biasanya tidak pernah mengecewakan. Piihan lain yang lebih terjangkau tapi sudah cukup oke hasil fotonya diantaranya seperti HTC, Lumia (Microsoft XL) dan merk lainnya. Ponsel dari China biasanya punya kamera yang kurang baik walau pikselnya diklaim banyak.
Kamera saku
Segemen kamera saku dulu berjaya saat kamera ponsel belum populer. Saat ini bila anda mencari kamera saku pastikan adalah kamera saku yang spesifik, misal punya lensa bukaan besar, punya sensor cukup besar atau punya bodi tahan air/bisa dipakai menyelam.
Kamera saku tahan air, tahan benturan dan tahan beku, mungkin cocok untuk liburan anda ke Eropa
Saran : Canon G7X dan Sony RX100 punya lensa bukaan besar dan sensor 1 inci, memberi hasil yang lebih baik dari kamera saku biasa. Untuk kamera tahan air ada Canon D30, Olympus Tough, Nikon AW130 yang juga menarik.
Action cam
Inilah segmen baru yang lagi populer sekarang, khususnya sejak muncul pesaing-pesaing GoPro. Lucunya banyak orang membeli Action Cam untuk dijadikan kamera saku, atau kamera tongsis, padahal Action cam sebetulnya untuk berpetualang di alam liar yang memacu adrenalin. Maka itu disediakan aksesori untuk menempelkan kamera ini di sepeda, di helm sampai di drone.
Sebuah action cam dibungkus dengan casing kedap air
Saran : Action Cam seperti GoPro atau Sony memang pilihan yang baik bila dananya ada, tapi altenatif sekarang sudah lebih banyak seperti SJCam 4000, Brica BPro dan Yicam dari Xiaomi.
Prosumer
Dulu kamera jenis prosumer juga laris, karena DSLR masih terlalu mahal. Kini prosumer semakin terbatas, tapi anda tetap bisa pilih kamera jenis ini kalau suka pengaturan manual, suka lensa panjang tapi dana terbatas. Kualitas foto dari kamera prosumer termasuk biasa saja, diatas kamera saku tapi dibawah kamera DSLR.
Kamera dengan lensa panjang bukaan konstan f/2.8, sensor 1 inci dan pengaturan yang lengkap, membuatnya ideal untuk dipakai liburan
Saran : Kamera prosumer yang saya sukai adalah Lumix FZ1000 dan Sony RX10 mark II. Keduanya punya lensa dan sensor cukup baik dibanding pesaingnya.
Mirrorless
Kamera mirrorless menjadi solusi bagi yang ingin dapat kualitas DSLR dalam ukuran lebih kecil. Walau begitu lensa kamera mirrorless juga sebagian sama besarnya dengan DSLR, pertimbangkan juga kombinasi yang tidak umum ini (bodi kecil, lensa besar). Tips dari saya saat memilih kamera mirrorless untuk liburan adalah carilah kamera yang fun (kecil, mudah dipakai, bisa flip LCD untuk selfie), ada WiFi (untuk dipasang di tongsis atau untuk berbagi ke sosmed) dan hasil fotonya tetap baik (sensornya ukuran standar DSLR).
Layar lipat dan bisa disentuh, membuat memotret jadi lebih fun, mau selfie? Bisa..
Saran : Setiap mirrorless entry level pada dasarnya disarankan, misal Sony A5100, Fuji X-A2, Samsung NX500 atau Canon EOS-M3. Opsi lain dari Micro Four Thirds ada Panasonic Lumix GF7 atau GM1 yang mungil.
DSLR
Dulu orang travelling dan liburan ya membawa DSLR, tapi kini sejak banyak pilihan lain, pengguna DSLR untuk liburan semakin berkurang. DSLR lebih banyak dipakai untuk kerja, seperti foto produk, potret model atau penghobi yang suka foto landscape hingga satwa liar. Tapi bila anda suka membawa DSLR untuk jalan-jalan, carilah yang ukurannya cukup kecil dan ringan, dengan lensa kit yang juga masih kecil atau lensa fix maka DSLR masih nyaman untuk jalan-jalan dan liburan.
DSLR yang kecil, layar lipat dan sentuh juga menyenangkan untuk dipakai liburan
Saran : Canon 760D merupakan DSLR yang saya suka karena kontrolnya seperti kamera pro (ada dua roda) dan bisa live-view setara mirrorless, lalu ada juga opsi dari Nikon yaitu D5500 yang punya bodi ringkas dan auto fokusnya jago mengatasi keadaan subyek bergerak.
Siapkan gear anda, pelajari bagaimana memakainya dengan benar dan selamat liburan..
Kali ini saya akan bahas kamera Fuji, khususnya membuat review singkat dari hasil mencoba Fuji X-T1 dengan beberapa lensanya. Tantangan untuk saya saat mencoba Fuji X-T1 adalah membiasakan mengganti setting eksposur melalui roda fisik seperti kamera lama, dan membuktikan karakter JPG yang terkenal baik (maka itu saya jarang ambil RAW saat review ini saya buat).
Tidak ada mode P/A/S/M di Fuji X-T1, saya anggap kamera ini seperti kamera manual. Saya harus memilih sendiri mau pakai bukaan berapa, shutter speed berapa dan ISO berapa lalu meninjau light meternya (atau histogram). Bisa saja salah satunya dibuat A (Auto) misal ISO diputar ke A, maka kamera ini akan beroperasi seperti mode semi-manual, tinggal mainkan saja kompensasi eksposurnya.
Tidak cuma roda eksposur, ada juga kendali drive dan metering dalam bentuk tuas, juga mode AF (AF-S, AF-C dan MF) dalam bentuk tuas di depan. Tuas ini terasa terlalu kecil dan pernah tanpa sengaja tergeser saat memasukkan kamera ke tas, sehingga tanpa sadar saya sudah pakai mode spot metering selama beberapa saat. Kendali 4 arah di belakang juga tidak diberi nama, kita harus ingat panah bawah adalah untuk mengakses area fokus, tanpa adanya layar sentuh maka tombol 4 arah penting sekali untuk mengganti area fokus yang kita mau.
Fuji X-T1, seperti sebagian besar kamera Fuji mirrorless lain, mengandalkan sensor X-Trans 16 MP APS-C yang banyak disukai orang karena ketajaman dan warnanya, serta rendah noise. Jumlah piksel sebanyak 16 MP ini termasuk cukup dan seimbang untuk mendapat detail tinggi sambil tetap menjaga ketajaman foto. Terdapat piksel pendeteksi fasa di sensor sehingga auto fokusnya bisa lebih cepat karena tidak cuma mengandalkan deteksi kontras saja seperti kamera mirrorless lain. Continue reading Review Singkat kamera mirrorless Fuji XT1
Sony A7R mark II sudah hadir. Kamera mirrorless 40 jutaan rupiah ini siap memberikan semua teknologi modern yang anda inginkan dari sebuah kamera, dalam kemasan yang kompak. Inovasi, miniaturisasi dan pencapaian teknologi yang dilakukan Sony memang seperti tidak terkejar oleh pesaing. Dari sekian banyak fitur yang ditawarkan, tak dipungkiri keunggulan utama dari Sony A7R mark II terletak pada sensornya. Apa saja hal-hal menarik yang menjadi fakta di sensor Sony A7R mk II ini?
Sensor berjenis full frame, ukuran 36 x 24mm, menjanjikan kualitas tinggi pada hasil foto.
Resolusi 42,4 MP, atau 7952 x 5304 piksel, ukuran ekstra tinggi untuk cetak besar.
Tanpa low pass filter, ketajaman maksimum untuk detail dan clarity.
Back iluminated, membuat kepekaan sensor meningkat sehingga lebih bersih dari noise di ISO tinggi. Material elektikal di dalam sensor berbahan tembaga, untuk kecepatan data yang lebih tinggi.
Ada 5 axis steady shot, sensor bisa bergerak atas bawah kiri kanan untuk mengkompensasi getaran tangan hingga 4,5 stop, foto jadi tetap tajam walau sedikit goyang.
Ditanami 399 piksel pendeteksi fasa untuk auto fokus hybrid, mengunci fokus pada benda bergerak bukan hal yang sulit lagi.
Bisa sampai ISO 102400, cocok untuk keadaan sulit yang kurang cahaya.
14 bit RAW (compressed) untuk dynamic range yang lebih lebar, khususnya saat diedit. Kata Kimio Maki (petinggi Sony), nanti akan ada update firmware sehingga RAW Sony bisa uncompressed.
Masih memakai filter warna Bayer, bukan seperti X Trans Fuji atau Foveon Sigma, kelemahan dari Bayer CFA adalah perlu teknik interpolasi yang membuat warna kurang akurat. Mungkin Sony lebih ‘cari aman’ karena selain dipakai sendiri, sensor buatan Sony juga dijual ke Nikon juga kan.
Tidak jadi pakai curved-sensor, seperti yang ramai dirumorkan media. Mungkin belum siap secara implementasinya.
Bayangkan sebuah sensor full frame 42 MP yang berjenis BSI-CMOS, bisa 5 axis stabilizer dan punya 399 piksel pendeteksi fasa, ditanamkan di bodi kamera yang cukup ringkas dan tidak besar. Bagi banyak orang, inilah dream comes true, bahkan too good to be true, walau harga kameranya memang jadi selangit. Sambutlah babak baru dimana sensor modern akhirnya bisa sekaligus mengusung konsep high-resolution dan high-sensitivity dalam satu kemasan. Calon pengguna tidak lagi harus memilih mau kamera yang tinggi megapikselnya (tapi noise) atau tinggi ISO-nya (tapi megapikselnya tidak terlalu tinggi).
Tapi sensor Sony A7R mk II bukan yang paling sempurna, walau saat ini diakui adalah yang paling impresif. Setidaknya secara teknis di waktu mendatang Sony perlu membuktikan curved-sensor memang bisa meningkatkan kualitas foto lebih signifikan, dan harapan saya Sony juga mesti mulai meninggalkan teknik interpolasi Bayer yang sudah lawas, demi mendapat akurasi warna yang lebih baik.
Manakah dari sekian fitur pada sensor Sony A7R mk II yang paling anda sukai?