Kamera Mirrorless murah meriah, mana yang terbaik?

Saya cermati sampai tahun 2016 ini masih banyak orang yang mencari DSLR lawas seperti Canon 600D atau Nikon D5200, besar kemungkinan karena budget mereka kurang mencukupi untuk memboyong DSLR baru, yang harganya kini mulai dari 8 jutaan seperti Canon 750D atau Nikon D5500. Memang ada juga opsi DSLR yang saya anggap best buy yaitu Nikon D3300 yang tidak mahal, sudah cukup lengkap dan generasinya termasuk baru. Tapi masalahnya saat ini sebagian orang mulai melirik ke kamera mirrorless, mungkin karena mengejar kepraktisan (ukurannya kecil) atau mencari kamera cadangan untuk mendampingi kamera DSLR yang lebih duluan dimiliki.

Saat anda mencari kamera mirrorless sebagai kamera utama anda, ada baiknya alokasikan dana yang lebih banyak (diatas 12 juta) untuk dapat gear yang lebih baik. Namun saat dana terbatas, atau anda sekedar mencari kamera ringkas untuk travelling, atau membeli mirrorless untuk pendamping DSLR, mungkin alokasi dana 8 juta ke bawah masih cukup buat anda.

Kamera mirrorless seperti apa yang bisa anda dapat dengan dana 4-8 juta rupiah?

Sony Alpha E-mount (dulu namanya Sony NEX)

Sony A5100 adalah versi ringkas dari Sony A6000 yang sama baiknya untuk urusan hasil foto maupun kinerja auto fokus. Bedanya A5100 tidak dilengkapi jendela bidik ataupun hotshoe untuk flash eksternal. Di beberapa toko kamera, Sony A5100 dijual sekitar 7 jutaan, namun dengan anggaran minimal anda mungkin akan melirik Sony A5000 yang jauh lebih murah (5 jutaan). Saran saya ambil yang A5100 kalau memungkinkan, karena A5000 auto fokusnya lumayan lambat karena belum ada phase detect AF.

Sony A5100

Sony A5100 pakai sensor APS-C 24 MP yang sangat mencukupi untuk cetak besar sekalipun, sedangkan A5000 pakai sensor 20 MP yang juga APS-C. Sony A5100 juga memiliki fitur layar sentuh, cukup unik karena bahkan A6000 pun tidak ada layar sentuhnya.

Canon EOS-M

Dulu Canon dan Nikon enggan bikin mirrorless, namun kini perlahan Canon (dan Nikon) mulai membuat kamera mirrorless juga. Canon EOS-M (M = mirrorless) generasi awal masih mengecewakan dalam hal kinerja, namun seiring generasi ketiga muncul dengan nama Canon EOS M3, kinerjanya membaik. EOS M3 (dijual 7 jutaan) bersaing ketat dengan Sony A5100, karena banyak kesamaan spek dan fitur. Di lini termurah juga hadir Canon EOS M10 yang dijual 6 jutaan, untungnya kedua kamera ini (M3 dan M10) sudah dilengkapi Hybrid CMOS AF yang mumpuni, juga keduanya punya fitur layar sentuh. Continue reading Kamera Mirrorless murah meriah, mana yang terbaik?

Advertisement

Fuji X-T10, kamera Fuji paling menarik bagi saya

Saya akui saya memang jarang bahas kamera Fuji, jadi sekali-sekali saya tulis juga lah. Pernah sih coba dari X-A1 hingga X-T1 dan berbagai lensanya, so far impresinya positif. Bahkan saya juga suka dengan kamera Fuji non mirrorless seperti X-20 dan X100s.

Tapi baru-baru ini Fuji bikin saya antusias saat dia luncurkan versi murah dari X-T1 yaitu Fuji X-T10. Dalam banyak hal Fuji X-T10 memang masih banyak kemiripan dengan Fuji X-T1, misalnya dibuat dengan desain bodi berbahan magnesium alloy (namun tidak weathersealed) dan ada roda pengaturan shutter speed di bagian atas bodi. Bedanya kini X-T10 justru menyediakan pop-up flash, walau sebagai komprominya ukuran jendela bidik jadi mengecil.

IMG_5524

Hal-hal yang menarik dari Fuji X-T10 adalah tentu saja kekuatan sensornya (16 MP X trans APS-C), desain retro klasik yang mengingatkan pada kamera Fujica jaman dulu, sistem auto fokus deteksi fasa yang kinerjanya sudah setara dengan update firmware terkini Fuji X-T1 (seperti ada zone AF dan eye detect AF) dan ada digital split image untuk manual focus. Soal kinerja masih tetap impresif dengan lag sangat singkat, ISO 25600, 8 fps, shutter speed hingga 1/32000 elektronik, dan tentunya berbagai Film Simulation yang disukai banyak fans Fuji.

Fuji X-T10 back

Saya pikir inilah kamera yang paling realistis untuk banyak orang. Model retro keren, hasil foto bagus, banyak pengaturan dan roda kendali, ada jendela bidik dan flash, dan harganya (semoga) tidak mahal. Hal-hal seperti tidak ada tombol focus assist atau tidak weathersealed mungkin bukan hal utama bagi sebagian orang termasuk saya. Kamera ini akan bersaing ketat dengan Sony A6000, Samsung NX30, bahkan dengan Lumix G7 atau Olympus E-M10. Saya hanya agak khawatir soal editing file RAW karena Fuji ini kan pakai sensor X-Trans yang penataan filter warnanya beda dengan Bayer CFA sehingga mungkin program seperti Lightroom akan kurang maksimal saat mengedit RAW-nya Fuji.

Bonus :

kadang ada yang tanya ke saya bagus mana Fuji X-T10 vs Sony A6000. Saya bilang sih sama saja bagusnya, kebetulan harganya juga mirip-mirip. Sony A6000 punya sensor APS-C 24 MP, sehingga bisa cetak lebih besar atau bisa di crop lebih leluasa, juga RAW-nya mudah dibuka pakai Lightroom. Sony juga lebih cepat dengan 11 fps dan punya 179 titik fokus sehingga disukai oleh fotografer aksi.

Fuji X-T10 sendiri punya sensor X Trans yang terkenal tajam, walau ‘hanya’ 16 MP tapi agak sulit edit RAW-nya di Lightroom, karena X Trans punya susunan filter warna yang agak berbeda dengan sensor kamera lain. Fuji punya bermacam Film Simulation yang variatif dan pengaturan JPG yang lengkap seperti shadow dan highlight sehingga JPG out-of-camera dia sudah bagus.

Tabel XT10 vs A6000

Fuji HS50EXR, kamera superzoom baru yang layak dipertimbangkan

Bertahun-tahun lalu, saya cukup antusias mengamati tren kamera superzoom yang penuh kejutan. Lambat laun evolusi mereka mulai stagnan, ditengah makin murahnya kamera DSLR. Hanya ada satu hal menarik dari kamera superzoom, yaitu bisa memotret benda yang jauh dengan lensa yang ada di kamera. Tapi banyak orang lantas kecewa karena menyangka kamera yang sepintas tampak serupa dengan DSLR itu hasil fotonya ternyata sangat biasa saja (kalo tidak bisa dibilang jelek). Lalu kamera superzoom mulai sepi peminat, hingga memaksa produsen kamera untuk putar otak hingga diluar kewajaran : membuat lensa yang ‘super’ panjang. Continue reading Fuji HS50EXR, kamera superzoom baru yang layak dipertimbangkan

Adu dua superzoom murah : Fuji S3200 vs Nikon L120

Kamera superzoom punya segmen market yang unik, yaitu mereka yang mengejar kamera dengan lensa all round dalam bentuk yang ringkas dan harga terjangkau. Soal kualitas hasil foto maupun fitur fotografi memang boleh saja dinomorduakan, yang penting dari segi penampilan kamera superzoom tampak seakan seperti kamera serius. Maka itu kita tidak perlu membayar mahal untuk kamera semacam ini, cukuplah dengan dana 2 jutaan bahkan kurang, kita bisa bermain-main dengan kamera yang lensanya punya kekuatan zoom hingga 20x bahkan lebih.

21x zoom
Ilustrasi rentang fokal kamera superzoom

Continue reading Adu dua superzoom murah : Fuji S3200 vs Nikon L120

Kamera saku tahun 2011 kini pakai sensor 16 MP

Tahun 2011 sudah datang. Prediksi saya menjadi kenyataan, kamera digital akan kehilangan arah dalam melakukan upgrade dan akan memaksakan resolusi sensor di luar batas kewajaran. Alhasil lahirlah kamera-kamera baru dengan sensor beresolusi ‘gila’ yaitu 16 mega piksel (hampir 3x lipat resolusi kamera Nikon D40 saya). Apakah ini kabar baik atau buruk? Bagi saya ini kabar buruk karena noise yang dihasilkan akan semakin tinggi dan belum lagi besarnya ukuran foto akan merepotkan saat sekedar melihat di komputer atau melakukan olah digital. Tapi apa mau dikata, bila anda penasaran mengenali kamera saku baru dengan sensor 16 MP, inilah diantaranya : Continue reading Kamera saku tahun 2011 kini pakai sensor 16 MP

Era 3D telah tiba, sudah siapkah kita menyambutnya?

Era gambar atau video tiga dimensi (3D) sudah tiba. Awalnya kita harus menyaksikan tayangan 3D di bioskop tertentu dengan materi film tertentu juga. Kini era 3D sudah lebih personal, alias bisa kita miliki dan kita nikmati di rumah. Era 3D yang lebih personal ditandai dengan mulai dipasarkannya kamera 3D, proyektor 3D, televisi 3D, game console 3D bahkan bingkai foto 3D dengan berbagai bentuk dan merk. Masuknya dunia imaging ke era 3D saya anggap memang sudah waktunya mengingat teknologi pendukung untuk itu sudah matang dan era 2D sudah ‘mentok’ tanpa banyak bisa disempurnakan lagi. Resolusi kamera foto sudah amat tinggi dengan belasan mega piksel, resolusi kamera video sudah sangat detail dengan HD 1080, namun dengan masih mengusung konsep 2D maka detail yang ada tidak berdimensi alias datar. Era 3D ini akan membawa perubahan banyak dalam dunia imaging, baik foto maupun video. Continue reading Era 3D telah tiba, sudah siapkah kita menyambutnya?